Sabtu, 11 Juni 2022 – Dalam rangka memperkuat pembelajaran hukum agraria, menemukan solusi serta penyelesaian terkait berbagai polemik agraria pada saat ini serta menyebarluaskan kajian terkait hukum agraria, maka Pusat Kajian Hukum Agraria dan Adat Fakultas Hukum Universitas Andalas (PAgA FHUA) mengadakan Kuliah PAgA seputar Agraria (Kupas Agraria) untuk mewadahi kegiatan tersebut.

Untuk Seri 1, Kupas Agraria mengangkat tema “Hak Menguasai Negara dan Hak Ulayat Dalam Kajian Teoritis dan Implementasinya”. Untuk seri 1 ini, kegiatan dinarasumberi langsung oleh Prof. Dr. Kurnia Warman, S.H., M.Hum selaku Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Direktur PAgA FHUA. Kegiatan yang berlangsung Pada hari Sabtu, 11 Juni 2022 tersebut, dibuka dengan penyampaian sambutan dari Prof Dr. Kurnia Warman, S.H., M.Hum dan dilanjutkan dengan sesi pemaparan materi oleh narasumber. Selanjutnya kegiatan dilanjutkan dengan sesi tanya-jawab dan diskusi serta penutupan dimana kegiatan ini berlangsung selama 2 jam dan dihadiri oleh ±90 Peserta.

Adapun latar belakang pemilihan tema tersebut dalam kegiatan Kupas Agraria seri 1 ini adalah mengingat konsep hak menguasai negara (HMN) menjadi unsur filosofis dan dasar pengaturan dari hukum agraria di Indonesia serta dasar implementasi dalam aktivitas yang berkaitan dengan sumber daya agraria di Indonesia. Mengenai HMN, bertitik tolak pada Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Berdasarkan ketentuan tersebut menjelaskan bahwa pengelolaan sumber daya alam dikelola oleh negara semata-mata untuk kepentingan rakyat.

Prof. Dr. Kurnia Warman, S.H., M.Hum menjelaskan dalam kegiatan tersebut, “Prinsip Hak Menguasai Negara merupakan penegasan tentang hubungan hukum antara Negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat dengan Bumi Air dan Kekayaan Alam yang tekandung di dalamnya (BAR+) milik bersama rakyat Indonesia”. Lebih lanjut Prof. Dr. Kurnia Warman, S.H., M.Hum menegaskan bahwa “hubungan hukum antara negara dan BAR+ tidak perlu berupa hak milik melainkan Hak Menguasai Negara (HMN) dan HMN merupakan pilihan konstitusional (Psl 33 ayat (3) UUD) berdasarkan Pancasila yang diambil dari prinsip hak ulayat dalam hukum adat”.

Dalam kesempatan tersebut Prof. Dr. Kurnia Warman, S.H., M.Hum juga menjelaskan bahwa sejatinya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) mengakui keberadaan hukum adat sebagai hukum positif dan sumber utama pembangunan hukum. Sejalan dengan itu, senyatanya dalam UUPA mengakui keberadaan hukum adat beserta hak ulayat yang dapat ditemui dalam Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA. Pasal-pasal tersebut menegaskan bahwa walaupun ada prinsip Kenasionalan (Hak Bangsa) dan Hak Menguasai Negara (HMN), negara mengakui keberadaan hak ulayat “masyarakat hukum adat”. Kemudian adanya pengakuan hak ulayat yang diatur dalam Pasal 3 UUPA menjelaskan bahwa hal itu sejalan dengan pengakuan terhadap hukum adat sebagai hukum berlaku (hukum positif tidak tertulis) menurut Pasal 5 UUPA.

Kemudian bahwa hak ulayat berdimensi dua yaitu dimensi publik dan dimensi privat sebagaimana yang dijelaskan oleh Prof. Dr. Kurnia Warman, S.H., M.Hum. Menurut pemaparannya bahwa, pada dimensi publik berkaitan dengan Pengaturan, Pengurusan, Pengawasan, Pengelolaan. Sementara pada dimensi privat berkaitan dengan pemilikan dan pemanfaatan. Berkaitan dengan itu, Prof. Dr. Kurnia Warman, S.H., M.Hum. menjelaskan bahwa Tanah Ulayat merupakan Tanah Adat. Tanah adat merupakan bidang tanah yang statusnya ditentukan oleh hukum adat. Tanah adat diakui dan dilindungi oleh Hukum Agraria karena Hukum Adat merupakan Hukum Positif Tidak Tertulis (UUPA: Psl 5, 3, dst). Status tanah menurut hukum adat: Tanah Ulayat dan Tanah Hak.

Mengenai Tanah Masyarakat Hukum Adat, Status Tanah Masyarakat Hukum Adat (MHA) menurut UUPA dapat dibedakan menjadi dua yatiu tanah hak dan tanah ulayat. Prof. Dr. Kurnia Warman, S.H., M.Hum. menjelaskan bahwa Tanah Hak adalah tanah adat yang dimiliki oleh warga tidak dikuasai langsung oleh MHA. Tanah hak dalam hal ini beraspek privat dimana dapat dibedakan melalui jenis haknya yaitu hak milik dan hak pakai. Hak milik dapat ditemui melalui tanah yang dimiliki oleh individu dan komunal/Silsilah/ranji. Sedangkan Hak Pakai dapat ditemui pada tanah individu yang ada perjanjian dengan hak milik atau izin dari ketua adat.

Lebih lanjut, menurut Prof. Dr. Kurnia Warman, S.H., M.Hum. mendefinisikan Tanah Ulayat adalah tanah yang dikuasai langsung oleh MHA dalam hal ini keberadaanya diakui oleh Pasal 3 UUPA. Contoh tanah ulayat : Ulayat Nagari (Minang) dan Kedamangan (Dayak). Berbeda dengan Tanah hak, tanah ulayat beraspek publik dan privat. Pada aspek publik, tanah ulayat dikuasai oleh Ketua Adat sedangkan pada aspek privat tanah ulayat dikuasai oleh warga MHA berdasarkan Silsilah atau ranji.

Prof. Dr. Kurnia Warman, S.H., M.Hum. juga memaparkan UU No. 5 Tahun 1960 atau UUPA merupakan produk hukum nasional pertama dan utama bagi pengakuan hak masyarakat (hukum) adat atas tanah. Pada masa kolonial sebetulnya juga ada pengakuan terhadap hukum adat: Pasal 11 AB 1848, Pasal 75 (3) RR (lama) 1854: hukum adat difungsionalkan oleh hakim; Pasal 75 (3) RR (baru) 1920: pemberlakuan hukum adat tidak saja melalui peradilan tetapi juga melalui pembuat UU (legislatif); Pada 1925 RR diganti dgn IS (Indische Staatsregeling) Pasal 75 (3) RR (baru) dijadikan Pasal 131 IS. Dengan berbagai reaksi dan redaksi pengakuan hak masyarakat (hukum) adat kemudian diikuti oleh berbagai UU termasuk UU Sektoral. Kemudian muncul “tragedi” preseden pengakuan masyarakat hukum adat sebagai subjek terlebih dahulu “dengan” Perda baru haknya diakui (UU 41/1999 tentang Kehutanan). Preseden ini bahkan menular ke bidang pertanahan. Pada akhir penjelasan mengenai pengakuan hak MHA atas tanah “Waspadai persepsi: Kalau belum ada Perdanya maka Hukum Adat dan Hak Adat tidak diakui”.

Prof. Dr. Kurnia Warman, S.H., M.Hum. juga menjelaskan bahwa UUPA memberikan arahan sublimasi dan kondensasinya terhadap MHA. Prof. Dr. Kurnia Warman, S.H., M.Hum menyatakan bahwa “Konsepsi hubungan hukum antara bangsa Indonesia dengan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang dipakai oleh UUPA diangkat dari konsepsi hak ulayat MHA (sublimasi)”. Lebih lanjut beliau memaparkan bahwa “Dalam wilayah adat, hak masyarakat (hukum) adat dijamin melalui penerapan sistem hak ulayat. Jika sistem hak ulayat efektif maka hak masyarakat hukum adat terjamin, dan tentu saja kesejahteraan masyarakat pun dapat diwujudkan. Pada saat sistem hak ulayat sudah disublim menjadi hak bangsa dan hak menguasai negara, maka masyarakat menunggu efektivitas sistem hak bangsa dan hak menguasai negara yang akan menjamin hak mereka. Sepertit Preseden Pembentukan Desa sejak UU 5/1979. UUPA memberikan pedoman untuk pembangunan hukum agraria dengan menentukan Prinsip Dasar Hukum Agraria Nasional untuk memastikan Kondensasi dari dari Hak Bangsa menyirami seluruh kepentingan anak bangsa ini terumata masyarakat (hukum) adat”.

Pada Akhir kegiatan, Prof. Dr. Kurnia Warman, S.H., M.Hum menyampaikan terkait tantangan hukum adat dan ulayat pada saat ini dari sisi internal dan eksternal. Beliau menjelaskan bahwa “dari sisi internal tantangan yang akan dihadapi berkaitan denagn eksistensi tokoh adat, kejelasan norma, batas tanah/wilayah adat, ketaatan internal dan sengketa internal sedangkan pada sisi eksternal antara lain berkaitan dengan Pemerintah dan Pengusaha seperti regulasi, program pembangunan, pemerintahan desa, putusan hakim, tidak taat hukum, pelemahan dan pemidanaan”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *