PAgA FHUA – Padang, Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia mengadakan Focus Group Discussion (FGD) Kegiatan Identifikasi dan Inventarisasi Tanah Ulayat di Provinsi Sumatera Barat di Hotel Santika Premiere Padang. Kegiatan ini menghadirkan seluruh ketua KAN se-Sumatra Barat.
FGD diadakan sebagai tindak lanjut survei lapangan kegiatan Identifikasi dan Inventarisasi Tanah Ulayat di Provinsi Sumatera Barat, serta untuk melaporkan hasil survei lapangan secara komprehensif. Hasil riset inilah yang akan didiskusikan dalam FGD, khususnya terkait kondisi tanah ulayat berdasarkan data data dan hasil penelitian. Hal ini bertujuan untuk memastikan ketepatan dan keakuratan data untuk disempurnakan sehingga bisa menggambarkan kondisi tanah ulayat di Sumatra Barat yang nantinya akan berkorelasi dengan arah kebijakan pemerintah terkait tanah ulayat.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Andalas, Busyra Azheri dalam sambutannya mengatakan, “Kegiatan FGD yang kita lakukan hari ini merupakan FGD yang kedua yang dilakukan oleh Pusat Kajian Hukum Agraria dan Adat Universitas Andalas. Sebelumnya pada minggu kemarin kita telah mengadakan hal yang sama di Kalimantan Tengah berkaitan dengan tanah ulayat juga, temanya sama”, ungkap Busyra.
Busyra menambahkan, “Antara Kalimantan Tengah dengan Sumatra Barat memiliki karakter yang berbeda. Apalagi di negara kita, khususnya di Sumatera Barat ini ada pepatah yang tidak bisa kita elakkan: “adaik balaku salingka nagari” pasti mempunyai karakter yang berbeda masing-masing daerah. Namun demikian, penelitian yang dilakukan oleh PAgA sebenarnya berusaha melakukan pemotretan, dalam arti kata berusaha menggambarkan bagaimana tanah ulayat di Sumatera Barat”, jelas Busyra.
Sementara itu, Ketua Tim Pekaksana, Kurnia Warman melaporkan bahwa survei tanah ulayat diadakan terhadap 543 Nagari di Sumatra Barat. Secara umum, Ia menyampaikan, “Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960 mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mendaftarkan tanah di seluruh wilayah Indonesia. Sampai kini, tugas tersebut tidak kunjung selesai, percepatannya saja sangat lambat. Sumatera Barat sendiri masih 20-an persen. 20-an persen tersebut tidak termasuk kawasan hutan, jadi yang di luar kawasan hutan saja belum ditindaklanjuti”.
Kurnia dalam diksusi juga menjelaskan, bahwa sampai saat ini pendaftaran tanah ulayat belum tuntas sehingga dapat disimpulkan bahwa secara pengaturan pendaftaran tanah dalam administrasi pertanahan, khusus untuk tanah ulayat pengaturannya tidak ada. Sementara keberadaan tanah ulayat nyata adanya. Oleh karena itu, Pemerintah melalui Kemeterian ATR/BPN bermaksud ingin mendaftarkan secara keseluruhan termasuk ulayat supaya tidak ada yang tertinggal dari sisi objek pendaftaran tanah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase tanah ulayat nagari yang masih utuh di Sumatra Barat hanya 8,38 persen. Sebagian besar tanah ulayat yang di Sumatera Barat adalah ulayat kaum dan suku. Persentase tersebut juga melingkupi Kabupaten Kepulauan Mentawai, sehingga luasannya mengurangi persentase tanah ulayat nagari. Jika Kabupaten Kepulauan Mentawai tidak dimasukkan, diperkirakan persentase tanah ulayat nagari tersebut mencapai sekitar 10 persen.
Laporan Ketua Tim Pelaksana tersebut ditanggapi dengan penuh harap oleh Kepala Kanwil BPN Sumbar, Saiful. Ia mengatakan, “Hari ini kami berduka. Penelitian yang dilakukan Prof. Kurnia dan tim mohon diberikan masukan yang cukup, barangkali yang disampaikan tadi masih kurang. Masukan dari Bapak/Ibu sekalian akan memperkaya penelitian ini, menambah bobotanya tidak hanya 10 persen, tapi lebih besar dari itu kita harapkan”, ungkap Saiful.
FDG ini menghadirkan narasumber dari tenaga ahli yaitu Zefrizal Nurdin dan R. Yando Zakaria, Yulizal Yunus (Badan Koordinasi KAN Sumatera Barat), Akral (Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi Sumatera Barat), Musriadi (Dirjen Pengaturan Tanah Komunal, Hubungan Kelembagaan, dan PPAT Kementerian ATR/BPN).
Diskusi yang dipandu oleh Sekretaris PAgA, Beni Kurnia Illahi berjalan cukup alot. Ia memantik diskusi dengan menggambarkan paradigma baru pasca diterbitkannya UU Cipta Kerja yang kemudian diimplementasikan dalam PP 18 Tahun 2021, bahwa tanah ulayat dapat diberikan HPL, sehingga penatausahaan tanah ulayat dilakukan dengan pengukuran, pemetaan, dan pencatatan dalam daftar tanah. “Problematika saat ini adalah, masyarakat hukum adat belum mengetahui objek tanah dimaksud beserta cara penentuan dan penetapannya”, terang Beni.
Sesi diskusi memberikan kesempatan kepada setiap ketua KAN untuk menanggapi. Salah satunya, Ketua KAN Kapa, Kabupaten Pasaman Barat menanggapi diskusi dengan memberikan fakta bahwa di Pasaman Barat, banyak tanah ulayat nagari yang telah diserahkan kepada pemerintah. “Pemangku adatnya ‘ditipu’ atau ‘ditakut-takuti’ sehingga diserahkanlah tanah ulayat tersebut untuk perkebunan”, ungkapnya. Ia berharap pemerintah dapat mengembalikan tanah ulayat dengan melakukan pengukuran ulang hak guna usaha (HGU), sebab terdapat 3.662 hektar tanah ulayat yang berada diluar HGU tetapi dikuasai oleh perusahaan perkebunan.
Selain itu, Ketua KAN Tungka, Kota Pariaman mengungkapkan, “Sebelum lahirnya Permendagri, sebelum peralihan Nagari ke Desa dan sebaliknya. Aturan pemerintah yang mengharuskan mensertifikatkan tanah ulayat menjadikan tanah ulayat tersebut hilang ‘ulayat’-nya. Perlu identifikasi masalah tanah ulayat, tidak hanya identifikasi dan inventarisasi tanah ulayat saja.”
Berbeda dengan kondisi Nagari Tungka, Ketua KAN Gunung, Kota Padang Panjang menyampaikan ironi bahwa di Nagari Gunuang, tepatnya di Bancah Laweh ada tanah ulayat yang disertifikatkan tanpa diketahui oleh Ketua KAN. “Tatanan KAN Gunung dirusak. Dibuat Plt KAN Gunung yang dilakukan oleh niniak mamak berkoordinasi dengan pemerintah kota”, ungkapnya.
Fakta ini menunjukkan bahwa terdapat berbagai kondisi dan permasalahan tanah ulayat dan problematika internal dan ekternal terhadap lembaga adat. Ketua KAN Kurai, Kota Bukittinggi juga menyampaikan bahwa luas tanah ulayat yang tercatat sampai saat ini tidak dapat dikuasai oleh lembaga adat, kaum, ataupun nagari karena dikuasai oleh aparat dengan alasan tanah tersebut merupakan peninggalan Jepang. Ketua KAN Kurai berharap penelitian ini dapat menyelesaikan persoalan ulayat sampai ke akar masalahnya.
“Ini diskusi yang menarik bahwa pengikat kuatnya lembaga adat adalah adanya ulayat. Di Kurai, lembaga adat semakin lemah karena tidak ada yang menyatukan. PAgA Unand harus mempertanggungjawabkan kegiatan inventarisasi dan identifikasi tanah ulayat, karena kami akan menuntut ini untuk menyelesaikan sampai tuntas sampai ke akar masalahnya”, tegas Ketua KAN Kurai.