PAgA FHUA – Padang, Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia mengadakan Focus Group Discussion (FGD) Kegiatan Identifikasi dan Inventarisasi Tanah Ulayat di Provinsi Kalimantan Tengah di Hotel M Bahalap Palangkaraya, pada 26 November 2021. Kegiatan ini dihadiri oleh Ketua Adat Dayak se-Kalimantan Tengah.
FGD diadakan sebagai tindak lanjut survei lapangan kegiatan Identifikasi dan Inventarisasi Tanah Ulayat di Provinsi Kalimantan Tengah, serta untuk melaporkan hasil survei lapangan secara komprehensif. Hasil riset inilah yang akan didiskusikan dalam FGD, khususnya terkait kondisi tanah ulayat berdasarkan data data dan hasil penelitian. Hal ini bertujuan untuk memastikan ketepatan dan keakuratan data untuk disempurnakan sehingga bisa menggambarkan kondisi tanah ulayat di Kalimantan Tengah yang nantinya akan berkorelasi dengan arah kebijakan pemerintah terkait tanah ulayat.
FDG ini diawali pemaparan hasil penelitian oleh Ketua Tim Peneliti, Kurnia Warman, serta menghadirkan narasumber dari tenaga ahli yaitu Mambang I. Tubil (perwakilan Dewan Adat Dayak Kalimantan Tengah), Achmadi (Dosen Fakultas Hukum Universitas Palangkaraya), Wilson (Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Tengah, Revoliyando Zakaria (Antropolog).
Mambang I. Tubil, perwakilan Dewan Adat Dayak mengatakan bahwa tanah ulayat di Kalimantan Tengah itu sama dengan tanah milik bersama yang merupakan warisan leluhur turun-temurun yang dikelola dan dimanfaatkan bersama oleh para ahli waris sebagai sebuah komunitas, itulah yang disejajarkan dengan tanah ulayat.
Konsep Tanah ulayat di Kalimantan tengah berbeda dengan konsep tanah ulayat di Sumatera Barat. Tanah ulayat di Kalimantan Tengah adalah tanah yang didapat turun-temurun dari nenek moyang.
Mambang menyatakan, “Saya yakin hasil yang disampaikan 0,94% itu, seluruh damang-damang disini pasti tidak setuju. Karena fakta lapangannya menurut pemahaman para damang dan DAD bukan begitu besarnya”, ungkap Mambang.
Tanah ulayat di Kalimantan Tengah merupakan tanah negara tidak bebas (bekas ladang), tanah warisan leluhur/orang tua yang belum di bagi-bagi, dapat berupa hutan kembali atau kebun, tempat tinggal (desa), dan atau kuburan keramat/religius magis. Luas dan batas tanah ulayat tersebut mengikuti luas dari batas bekas ladang garapan. Sedangkan pengalihan hak atas tanah ulayat dapat dilakukan melalui jual beli dan cara lainnya.
Selain itu, Achmadi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Palangkaraya mengemukakan bahwa ada empat kategori utama hubungan masyarakat adat Dayak dengan hak atas tanah adat, yaitu hak untuk mewarisi, hak untuk menanam, hak untuk memanfaatkan, dan hak untuk melepas hak-haknya.
Di Kalimantan Tengah sudah ada Panitia Masyarakat Hukum Adat untuk melakukan identifikasi, verifikasi dan validasi, terhadap usulan dari masyarakat hukum adat dalam menginventarisasi dari maysarakat hukum adat baik yang ada di lintas kabupaten/kota maupun di dalam kabupaten/kota. Selain itu, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah juga sudah membuat buku pedoman tentang tata cara pengakuan masyarakat hukum adat di Kalimantan Tengah.
Merespon hal tersebut, Revoliyando Zakaria dalam diskusi juga menekankan bahwa persentase hasil survei yang dilakukan boleh saja berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Dewan Adat Dayak, karena memandang dengan sudut pandang dan konsep yang berbeda. Selain itu, perbedaan mungkin saja terjadi karena adanya persoalan-persoalan yang perlu diperhatikan agar tidak menjadi sumber masalah baru.
Dalam konteks keragaman sistem ulayat atau penguasaan bersama (komunal) yang ada perlu dirumuskan kebijakan yang lebih compatible dengan realitas sosial. Semata-mata menujukan penataausahaan tanah ulayat hanya untuk ulayat yang bersifat publik-privat mungkin terlalu besar effort-nya. Situasi sosial justru berada di tanah-tanah yang bersifat privat dan penguasaan-penguasaan individu.
Kurnia Warman selaku Ketua Tim Peneliti juga menerangkan, “angka 0,94% itu bagi kami bukan berarti menunjukkan di Kalimantan tengah itu tidak ada tanah adat, atau tanah adat di Kalimantan tengah itu hanya 0,94%. Maksud dari 0,94% itu adalah objek tanah yang proses administrasinya nanti mengikuti proses administrasi tanah ulayat, dan mengikuti proses penatausahaan atau pendaftaran tanah ulayat”, jelas Kurnia.
Sebagian besar tanah adat yang ada di Kalimantan Tengah dengan hasil penelitian ini lebih tepat pendekatan pendaftarannnya mengikuti pendaftaran tanah hak, tetapi bukan hak individual, yaitu hak komunal. Dalam PP 24 Tahun 1997 pun dalam pelaksanaanya belum bisa mengakomodasi keseluruhan bidang tanah adat, terutama pendaftaran tanah komunal.
Kurnia juga menambahkan, bahwa penelitian ini tidak mengidentifikasi tanah milik komunal, sehingga diasumsikan diluar persentase tersebut merupakan tanah milik komunal dan tanah milik individual. Sehingga metode pendaftaran tanah hak saat ini hendaknya menyesuaikan dengan kepemilikanm tanah secara komunal.
Pasca pemaparan dari narasumber, dilanjutkan dengan sesi diskusi. Pemaparan hasil survei dan presentasi narasumber ditanggapi secara seksama oleh setiap Damang Kepala Adat. Salah satunya Ardianson, Damang Barito Selatan mengatakan, “Hari ini jujur saja, data 0,94% itu membuat kami terkejut, karena pemahaman kami selain tanah negara adalah tanah adat (ulayat). Bukti-bukti tanah ulayat menurut kami disana ada beberapa pembuktian secara turun temurun. Pohon asam besar, pohon cempedak, pohon durian, bekas komunitas orang berladang, bekas pecahan piring, bekas pecahan gelas, ini adalah tanah leluhur kami yang disebut dengan ulayat”, ungkap Ardianson.
Disamping itu, Simpun juga mengatakan, “Gara-gara nomenklatur ulayat yang ada di UUPA itu, akhirnya tanah adat kami disini menjadi tidak diakui.. Jangan sampai ada peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, kehutanan ngomong paguyuban, kami ngomong masyarakat adat, aturannya berbeda-beda, padahal objeknya sama. Sekarang yang banyak jadi persoalan adalah tatacara penetapan masyarakat hukum adat. karena wilayah adat damang itu adalah satu kedamangan”, jelas Simpun.
Diskusi berjalan alot karena banyaknya tanggapan dari ketua adat terkait berbagai macam persoalan tanah ulayat atau tanah adat baik dari segi masyarakat adat maupun kebijakan dan regulasi pemerintah.
Menutup diskusi, narasumber kembali menanggapi berbagai pertanyaan dan masukan dari peserta. Pada dasarnya, perlu adanya penyesuaian metode penelitian dengan konsep tanah ulayat di Kalimantan Tengah.
Mambang I. Tubil menyarankan perlu adanya inventarisasi dan identifikasi ulang dan sinkronisasi penataan dan pengelolaan hak-hak adat jika kegiatan ini diperlukan sebagai acuan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan tentang tanah ulayat di Kalimantan Tengah.