Sabtu, 2 Juli 2022, Pusat Kajian Hukum Agraria dan Adat Fakultas Hukum Universitas Andalas (PAgA) kembali menyelengarakan KUPAS AGRARIA seri kedua setelah menimbang antusias yang tinggi dari peserta terhadap isu-isu agraria. KUPAS AGRARIA seri kedua kali ini mengusung tema “Menilik Konsep Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan dalam Perspektif Hukum Agraria Indonesia dan Implementasinya”.
Pemateri dalam kegiatan ini adalah seorang akademisi dan ahli hukum agraria serta juga sedang menjabat menjadi Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, yaitu Dr. Edra Satmaidi, S.H., M.H. Kegiatan ini juga dimoderatori oleh Muhammad Kevin Yades (Peneliti Muda PAgA FHUA).
Pemateri sebelum memasuki ke pembahasan inti, membahas tentang semangat yang menjadi latar belakang sah-nya UUPA. UUPA merupakan salah satu bagian daripada agrarian reform. Agraria reform memiliki beberapa tujuan, yaitu sebagai berikut:
- Pembaharuan Hukum Agraria.
- Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah.
- Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur
- Perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dgn penguasaan tanah
- Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya serta penggunaannya secara terencana sesuai daya dukung dan kemampuannya
Landasan UUPA sebagai hukum agraria nasional, yaitu terdapat dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945). Adapun Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 berbunyi:
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Berlakunya UUPA juga berimbas kepada peraturan-peraturan dan keputusan yang diwarisi oleh pemerintah kolonial Belanda. Beberapa aturan dan penetapan dicabut oleh UUPA adalah sebagai berikut:
- Agrarische Wet 1870
- Peraturan-peraturan tentang Domein Verklaring
- Koninklijk Besluit (Keputusan Raja) Stb 1872 No. 117 dan peraturan pelaksanaannya
- Buku II KUH Perdata Indonesia sepanjang mengenai Bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan tentang hypotheek yg masih berlaku pada mulai berlakunya UUPA
- Dengan berlakunya UUPA tidak dikenal lagi hak-hak atas tanah sebagaimana diatur dalam KUHperdata Indonesia seperti Hak Eigendom, Hak Erfpacht, Hak Opstal,
Selanjutnya, pemateri menjelaskan mengenai hirarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional. Hirarki tersebut terdiri dari; 1) hak bangsa Indonesia atas tanah; 2) hak menguasai negara atas tanah; 3) hak ulayat; dan 4) hak perseorangan atas tanah.
Hak bangsa Indonesia merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah negara, yg merupakan tanah bersama, bersifat abadi dan menjadi induk bagi hak-hak penguasaan yang lain atas tanah. Hak Bangsa Indonesia dalam hukum tanah nasional adalah hak kepunyaan, yang memungkinkan penguasaan bagian-bagian tanah bersama dengan hak milik oleh warga negara secara individual.
Bedasarkan pengertian di atas menegaskan bahwa tanah bukanlah milik negara akan tetapi milik bangsa Indonesia. Ini dijelaskan secara tegas dalam Penjelasan Umum bagian II UUPA mengenai Dasar-Dasar Hukum Agraria Nasional yang berbunyi:
“…untuk mencapai apa yg ditentukan dalam Pasal 33 (3) UUD 1945 tidak perlu dan tidak pada tempatnya bangsa Indonesia/ negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika negara bertindak selaku Badan Penguasa. … ≠perkataan “dikuasai” dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA bukanlah berarti “dimiliki” akan tetapi memberi wewenang kepada negara pd tingkatan yang tertinggi yaitu wewenang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA.”
Negara memiliki wewenang dalam menentukan dan menetapkan macam-macam hak atas tanah, salah satunya terhadap hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan. Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dan hanya dapat dipunyai oleh WNI, Badan Hukum yang ditetapkan Pemerintah.
Selanjutnya, hak guna usaha menurut Pasal 28 UUPA adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu tertentu, yang diperuntukan guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan. Hak guna usaha diberikan kepada subjek yang dapat mempunyai hak guna usaha adalah WNI atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia..
Hak guna bangunan menurut Pasal 35 ayat (1) UUPA adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Hak guna usaha hanya diberikan kepada WNI dan Badan Hukum Indonesia.
Setelah menjelaskan pengertian dan seluk beluk tentang hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan, pemateri juga menjelaskan beberapa permasalahan-permasalahan yang terjadi di masing-masing hak atas tanah tersebut. Permasalahan pertama, yang terjadi pada hak milik saat ini yaitu seperti pengakuan atas kepemilikan tanah didasarkan kepada seberapa lama seseorang menempati, memakai, dan mengolah tanah tersebut. Selain itu, banyaknya Surat Keterangan Tanah (SKT) yang diterbitkan serta permasalahan dalam hal pendaftaran Hak Milik untuk pengakuan atas kepemilikan tanah dan peralihan hak milik tersebut yang mengakibatkan banyaknya sertifikat ganda pada satu bidang tanah yang sama, kemudian permasalahan ini menjadi cikal bakal konflik agraria.
Penguasaan dan kepemilikan lahan pertanian untuk setiap RTP. Sensus Pertanian 2013 (ST 2013), terdapat 26,1 juta rumah tangga usaha pertanian di Indonesia. 14,25 juta rumah tangga merupakan rumah tangga petani gurem (menguasai tanah kurang dari 0,5 ha) dan sedangkan 11,50 juta rumah tangga merupakan rumah tangga bukan petani gurem (menguasi tanah 0,5 ha atau lebih). Hal ini belum sesuai dengan Pasal 8 UU 56/prp/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, bahwa setiap Rumah Tangga Petani menguasai dan memiliki tanah pertanian minimal 2 hektar.
Selanjutnya, pada permasalahan hak guna usaha sering terjadi konflik agraria, yang bedasarkan Data Konsorsium Pembaharuan Agraria Tahun 2021 terjadi 207 letusan konflik di 32 provinsi yang tersebar di 507 desa/kota dengan sektor, perkebunan tetap menjadi sektor dengan jumlah konflik agraria tertinggi yaitu 74 konflik. Konlik ini terjadi tatkala hak ulayat masyarakat hukum adat di tanah HGU dan juga kadang-kadang penerbitan hak guna usaha (HGU) atas lahan seluas ratusan bahkan ribuan hektar tetapi tidak dioptimalkan, bahkan tidak digarap/ditelantarkan. Kemudian digarap oleh masyarakat. Atau perusahan menggarap lahan melebihi luas HGU sehingga menyerobot lahan lainnya, termasuk lahan Hutan.
Perusahaan yang mempunyai HGU terkadang juga belum melaksanakan kewajibannya untuk memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar, paling sedikit 20% dari luas IUP yang dilengkapi dengan rencana kerja dan rencana pembiayaan (Pasal 57-60 UU 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan Pasal 9 ayat 1 Permentan 5/2019 ttg Tata Cara Perizinan Berusaha Sektor Pertanian. Selain itu, dalam pemberian HGU juga sering tidak adanya kejelasan mengenai batas masa berlakunya HGU tersebut.
Terakhir, permasalahan-permasalahan yang terjadi pada hak guna usaha sering terjadi pada perpanjangan hak guna bangunan di atas hak pengelolaan dan habis masa hak guna bangunan dan kepastian hak kebendaan atas bangunan serta tanaman di atasnya. Pemegang hak guna bangunan mengubah atau mengalih fungsikan bangunan tanpa izin dan persetujuan dari pemilik tanah selaku pemberi hak guna bangunan.
Pemateri berpesan bahwa pemerintah perlu untuk dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut, agar tidak terjadi kembali sengketa atau konflik agraria di masyarakat. Kupas pada pagi ini ditutup dengan sesi tanya jawab serta closing statement oleh Pemateri.