Sabtu, 24 September 2022 – Bertepatan dengan hari lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA), Pusat Kajian Hukum Agraria dan Adat (PAgA) Fakultas Hukum Universitas Andalas
menyelenggarakan sebuah webinar yang bernama Kuliah Seputar (Kupas) Agraria dengan tema “Pemanfaatan Tanah Ulayat Untuk Penanaman Modal Sebagai Pemberdayaan Nagari”. Webinar
ini mengundang langsung narasumber yang ahli untuk mengupas secara detail tema yang ada.
Narasumber tersebut merupakan guru besar di bidang hukum agraria adat, yakni Prof. Dr. Zefrizal
Nurdin, S.H., M.H.
Dalam pemaparan keynote oleh Prof. Kurnia Warman selaku direktur Pusat Kajian Hukum
Agraria dan Adat (PAgA) menyatakan bahwa, pengangkatan tema ini dilandasi karena keberadaan
isu-isu persoalan dari agraria ini tidak pernah surut. Mulai dari sejarah pemanfaatan tanah ulayat
dan juga seiring dengan sejarah pertumbuhan, pembangunanan, pemanfaatan pertanian dan
perkebunan. Oleh karena itu, isu pemanfaatan tanah ulayat untuk usaha ini tidak pernah tuntas
dibahas di hukum agraria nasional Indonesia. Maka pada kesempatan kali ini, kita membahas
bukan hanya pemanfaatan tentang tanah ulayat, namun juga mengupas apakah metode
pemanfaatan tanah ulayat telah memberi manfaat dari masyarakat hukum adat.
Kemudian dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh Prof. Zefrizal sebagai narasmuber.
Menurut beliau, tanah tidak hanya sebagai aset ekonomi, namun juga sebagai aset sosial yang
menjadi fungsi bagi seluruh masyarakat hukum adat (MHA) di Indonesia. Salah satunya dalam
Masyarakat Hukum Adat (MHA) Minangkabau yang dikenal dengan hak-hak persekutuan.
Dalam hal ini khususnya di Sumatera Barat, timbul kesan seolah-olah pemanfaatan tanah
ulayat di Sumatera Barat selalu banyak permasalahan. Hal ini tergantung kepada kuat atau
tidaknya hubungan anatara subjek dan objek hak ulayat dalam sistem kekerabatan yang ada di
masyarakat hukum adat (MHA). Maksdunya, masyarakat hukum adat (MHA) Minangkabau
menganut sistem kekerabatan matrilineal, dimana dalam sistem ini memiliki keunikan tersendiri.
Keunikan ini dapat dilihat dari pola hubungan orang tua dan anak serta hubungan mamak
dengan kemenakan. Pola ini berlandaskan dari ketentuan adat, yaitu “anak dipangku kemenakan
dibimbing”. Ketentuan ini berarti bahwa anak dipangku dengan harta pencaharian, sedangkan
kemenakan dibimbing dengan pusako (hak ulayat bagian dari pusako).
Khusus untuk hak ulayat bedasarkan adat Minangkabau, terbagi menjadi 4 jenis hak ulayat,
yaitu: Ulayat Nagari, Ulayat Suku, Ulayat Kaum, Ulayat Rajo. Ke empat jenis ulayat ini terbagi
ke dalam 2 aspek, yakni aspek privat dan aspek publik. Ulayat yang termasuk ke dalam aspek
privat yaitu, ulayat suku, ulayat kaum, dan ulayat rajo. Sedangkan, yang termasuk ke dalam aspek
publik hanyalah ulayat nagari. Ke empat jenis ulayat ini tunduk kepada 4 macam aturan adat, yaitu:
- a) Adat nan sabana adatb) Adat nan diadatkan
- c) Adat nan teradat
- d) Adat istiadat
Tanah ulayat tidak dapat dilakukan peralihan karena ada ketentuan yaitu “jua indak
dimakan bali gadai indak dimakan sando”. Akan tetapi tanah ulayat dapat beralih di situasi
tertentu, yaitu dalam situasi:
- a) mayik tabujua tangah rumah (biaya untuk pengurusan mayit)
- b) rumah gadang katirisan (memperbaiki rumah gadang yang rusak)
- c) gadih gadang ndak balaki (menikahkan gadis tua yang belum menikah)
- d) Pambangkik batang tarandam (biaya untuk pesta pengangkatan penghulu atau biaya
untuk menyekolahkan anggota kaum ke jenjang yang lebih tinggi)
Hak ulayat sendiri sudah diakui oleh negara, ini dapat dilihat dari adanya pengakuan
terhadap hukum adat dalam Pasal 18 B jo Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Kemudian amanat dalam
konstitusi tersebut dijabarkan kembali dalam peraturan turunan yakni Peraturan menteri ATR/BPR
No 5 tahun 1999, Peraturan Menteri Dalam Negeri No 52 Tahun 2014, UU No 6 Tahun 2014
tentang Desa, Peraturan Menteri ATR/BPN No 9 Tahun 2015, Peraturan Menteri ATR/BPN No
10 Tahun 2016 serta Peraturan Menteri ATR/BPN No 18 Tahun 2019.
Salah satu penggunaan tanah ulayat adalah untuk investasi. Adapun pola pemanfaatan
tanah ulayat untuk investasi melalui 2 cara :
- Via pelepasan/penyerahan hak yakni putus hubungan hukum tanpa adanya pemulihan
- Via hak pengelolaan (PP No 18 tahun 2021 penerobosan Pasal 28 UUPA dan objek
sertifikasi) dimana dijelaskan bahwa susunan rencana
peruntukkan/penggunaan/pemanfaatan, menggunakan sendiri/memanfaatkan
dikerjasamakan dengan pihak lain secara HGU,HGB, Hak Pakai, penentuan tarif sesuai,
tidak putus hubungan selamanya, terhadap penulihan hak pasal 15 ayat 3.
Pemanfaatan tanah ulayat di Sumatera Barat termaktub dalam Perda No.6 Tahun 2008 (Hak
ulayat dan Pemanfaatan) dan Pergub No. 21 Tahun 2012 tentang (Hak Ulayat untuk Investasi),
yang di dalamnya terdapat beberapa norma, yaitu:
- Untuk pemberdayaan MHA (Masyarakat Hukum Adat)
- Kesepakatan Tertulis
- Adat diisi Limbago dituang/recognisi4. Sesuai Syarak
- Pemulihan Hak ulayat
- Bebebrapa menyimpulkan dalam implementasi.
Dalam pelaksanaan peraturan ini terjadi disinkronisasi vertikal dengan peraturan yang di
atas, salah satunya yaitu Peraturan Menteri ATR/BPN No 18 Tahun 2019 dimana tidak ada celah
dalam pemulihan hak ulayat. Karena adanya ketidak sesuaian norma dalam implementasi
peraturan tersebut, maka banyak penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Menurut Prof.
Zefrizal untuk mengatasi penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan peraturan, ada 2 cara
yang dapat dilakukan dalam pemanfaatan tanah ulayat oleh investor, di antaranya:
- Hak ulayat masyarakat adat harus diberikan terlebih dahulu kepada negara, dan setelah
menjadi tanah negara, negara lah yang akan memberikan HGU (Hak Guna Usaha)
kepada investor. Namun, dalam Peraturan Menteri ATR/BPN No 18 Tahun 2019 hak
ulayat tersebut tidak dapat dipulihkan kembali menjadi hak masyarakat hukum adat.
- Dalam PP Nomor 18 Tahun 2021, subjek hak ulayat mengurus terlebih dahulu hak
pengelolaannya, setelah itu baru bekerja sama dengan investor untuk melakukan
pemanfaatan di atas tanah ulayat. Dengan cara inilah, hak ulayat dapat dipulihkan
kembali.