Muhammad Fajri Chai
(Peneliti Muda Pusat Kajian Hukum Agraria dan Adat (PAgA) Fakultas Hukum Universitas Andalas)
*telah dimuat di kolom opini padang ekpres*
Konsep tanah ulayat di Sumatera Barat banyak yang menganggap selalu ‘diintervensi’ oleh pemerintah baik pusat maupun daerah dengan pelbagai aturan perundang-undangan yang dapat mengaburkan dan kadang kala tidak lagi sesuai dengan filosofi keagrariaan menurut hukum adat Minangkabau. Sebab, bagi Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Minangkabau ulayat merupakan aset yang begitu berharga. Tidak hanya sebagai tempat untuk menjalani rutinitas kehidupan sehari-hari, ulayat juga menjadi simbol dan prestise yang menunjukkan eksistensi suatu suku atau kaum di Minangkabau. Adagium mereka menyatakan bahwa tidak sejengkal tanah pun di Minangkabau yang tidak ada pemiliknya. Tanah-tanah tersebut ada yang berstatus sebagai ulayat nagari, ulayat suku, atau ulayat kaum.
Hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat dikenal dengan Hak Ulayat. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau UU Pokok Agraria (UUPA) mengakui adanya Hak Ulayat. Pengakuan itu disertai dengan 2 (dua) syarat yaitu mengenai eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya. Berdasarkan Pasal 3 UUPA, hak ulayat diakui “sepanjang menurut kenyataannya masih ada”. Artinya tanah ulayat merupakan identitas masyarakat hukum adat yang diakui dan dilindungi keberadaannya.
Pengelolaan tanah ulayat adat minangkabau haruslah sesuai dengan kaidah atau norma yang hidup ditengah masyarakat hukum adat minangkabau. Agar pengelolaan tanah ulayat tersebut dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat hukum adat minangkabau. Seperti halnya yang diajarkan dalam filsafah minang sebagai berikut, “Nan basah tanamlah padi, Nan bancah bataranak itiak, Nan lereng tanamlah tabu, Nan data pandam pakuburan jo parumahan, Jago hutan jan binaso”. Begitulah filsafah minangkabau mengajarkan kita soal pengelolaan tata ruang alam minangkabau. Perintah menanam padi terletak pada kalimat utama seolah-olah mengisyaratkan kita bahwa melindungi lahan pertanian menjadi tugas utama sebagai masyarakat hukum adat minangkabau.
Senada dengan norma yang hidup ditengah masyarakat minangkabau, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) bertujuan untuk melindungi dan menjamin ketersediaan lahan pertanian di Indonesia. Dimana UU ini berfungsi untuk mencegah dan mengendalikan alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian. Menurut UU ini, daerah Kabupaten/Kota berwenang untuk menentukan besaran luas (LP2B) yang mereka miliki. Artinya, seluruh ketentuan dan ketetapan yang ada didalam UU ini tidak bisa dijalani jika Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tidak menetapkan Peraturan Daerah tentang LP2B. Ironinya sejak UU ini diberlakukan sampai hari ini belum ada satupun kabupaten/kota di Sumatera Barat yang telah mamiliki Perda tentang LP2B.
Padahal prediksi penduduk Indonesia Sampai tahun 2035 akan mencapai 440 juta jiwa, dengan 1,3% – 1,5% per tahunnya. Artinya ada beberapa permasalahan yang akan dihadapi lahan pertanian, yang merupakan lahan pendukung untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk. Masalah lainnya adalah kompetisi pemanfaatan ruang untuk berbagai sektor yang semakin ketat dan rencana alih fungsi lahan sawah yang sangat dahsyat berdasarkan Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/ Kota seluas 3,09 juta ha dari 7,8 juta ha lahan sawah menjadi permukiman, perindustrian, dan lain-lain. Alih fungsi lahan tersebut bila tidak dikendalikan maka akan membawa dampak pada terganggunya ketahanan pangan yang ada dan juga dapat menghilangkan tanah ulayat minangkabau yang ada pada hari ini.
Pekerjaan sebagai petani dianggap suatu pekerjaan yang tidak bergengsi dikhalangan millenial hari ini. Bertani dianggap tidak menjanjikan secara ekonomi. Alhasil banyak masyarakat mengalihfungsikan lahan pertanian mereka yang merupakan tanah ulayat adat menjadi lahan nonpertanian bahkan ada yang rela menjualnya karena dianggap tidak produktif. Dalam batas penalaran yang wajar dengan dibentuknya Perda tentang LP2B di Kabupaten/Kota se-Sumatera Barat dapat melindungi tanah ulayat adat yang ada. Dimana Perda tentang LP2B ini dapat mencegah dan mengendalikan alih fungsi lahan pertanian, dan juga memberikan insentif kepada petani yang menggunakan tanah ulayatnya menjadi LP2B. Tentu saja, hal ini merupakan angin segar dan jawaban atas stigma negatif terhadap profesi petani yang hidup dikhalangan masyarakat selama ini. Dengan dibentuknya Perda tentang LP2B ini lahan pertanian yang telah ditetapkan didalam kawaasan pertanian pangan berkelanjutan tidak dapat dialihfungsikan begitu saja kecuali negara membutuhkannya untuk kepentingan umum sebagaimana yang diatur didalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Dengan demikian, ditetapkannya Perda tentang LP2B di kabupaten/kota se-sumatera barat dapat melindungi tanah ulayat adat minangkabau. Dimana tanah merupakan identitas bagi masyarakat hukum adat itu sendiri. Jangan sampai di generasi anak cucu kita, ia mengaku sebagai orang minang, tetapi ia tidak memiliki tanah ulayat yang dititipkan dari nenek moyangnya. Itu sebabnya, kita semua tentu berharap agar Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Barat dapat mendorong untuk segera membentuk Peraturan Daerah tentang LP2B sebagai wujud perhatian Pemerintah Daerah kepada petani dan tanah ulayat adat di Minangkabau. Sebab, secara filosofis perlu diingat bahwa bumi yang kita gunakan hari ini bukanlah warisan dari nenek moyang kita tapi ini dititipkan oleh anak cucu kita kepada generasi kita untuk tetap dijaga sejak dalam pikiran. Karena negara yang mampu memiliki ketahanan pangan yang baiklah yang dianggap sebagai negara yang mampu berdaulat atas dirinya sendiri. Semoga Indonesia masuk dalam kategori tersebut.